Rabu, 17 November 2010

Umi, The Pretty Cleaning Service

18 October, 2010 (04:03) | Pemerkosaan


  
KisahMesum.Com : “Aaah, kenapa juga sih gue stuck di kerja kayak beginian?” Keluhan itu sudah berkali-kali dilontarkan Umi, gadis petugas cleaning service di satu gedung perkantoran bertingkat banyak. Pendengarnya kali ini adalah Karman, sesama petugas cleaning service, cowok dengan tampang pas-pasan dan masa depan pas-pasan juga.

“Disyukurin ajalah Mi, jaman susah nyari kerja gini,” celetuk Karman. Umi malas menanggapi Karman, dan kembali ke kesibukannya memoleskan lipstik ke bibirnya.
“Heh!” terdengar dampratan bernada sewot dari sebelah mereka berdua. “Dandan mulu. Ayo sana kerja! Karman kamu ngepel lantai lima, Umi lantai empat. Ayo cepet! Jangan nongkrong aja!” Yang memerintah adalah supervisor cleaning service, yang baru saja masuk ke pantry dan melihat dua anak buahnya duduk-duduk dan bukannya kerja.
“Iya, iya, ini kita jalan,” gerutu Umi sambil menutup tempat bedak yang dipakainya untuk bercermin, lalu berbisik memaki bosnya, “dasar nenek sihir gak laku!” Dia langsung beranjak keluar dari ruang tempat para petugas cleaning service biasa duduk, diikuti Karman. Selagi berpapasan dengan Umi, si supervisor mencela, “Umi. Kalo kerja yang bener ya! Jangan dempul muka terus yang diurusin! Dasar ganjen.” Umi hanya menanggapi dengan cibiran yang tidak terlihat oleh bosnya.
“Kalau udah selesai, jangan lupa dikunci, ya! Aku mau pulang,” terdengar suara si supervisor ketika Umi dan Karman sudah keluar. Membawa peralatan untuk bebersih, keduanya menuju lift untuk naik ke lantai yang menjadi tugas masing-masing.
Di dalam lift, Karman mengajak Umi pulang bareng.
“Mi, pulang bareng yok. Kuanterin pake motor sampe kosan kamu deh.”
“Ogah,” tolak Umi.
Dia berusaha menghindar dari Karman yang naksir dirinya. Buat apa pacaran sama sesama cleaning service, pikir Umi, nggak ada kemajuan. Nantinya tetap kere. Kenapa harus nerima cinta orang yang kerjanya juga ngepel kalau kesempatan memperbaiki nasib masih terbuka lebar. Gedung tempat Umi bekerja adalah kantor pusat suatu perusahaan besar yang bonafid. Tentunya gedung itu saban hari penuh dengan karyawan; pikir Umi, rasanya lebih baik kalau dia bisa menarik perhatian salah satunya. Mungkin Mas Lesmana di bagian IT yang guantengnya minta ampun. Atau Mas Nafi di Penjualan yang lumayan ganteng juga, dan mobilnya bagus. Atau sekalian saja salah seorang direksi perusahaan? Kayaknya asyik juga jadi simpanan Pak Noval atau Pak Kadri…Itulah salah satu penyebab Umi tidak pernah lupa berdandan sewaktu kerja. Dia tahu persaingannya berat, begitu banyak karyawati di sana yang cantik-cantik dan berpendidikan serta berstatus sosial lebih tinggi, yang lebih mungkin merebut hati sasaran-sasarannya. Untungnya, teman sekos Umi yang bekerja sebagai SPG kosmetik sering berbagi tips dandan, dan sekali-sekali juga berbagi produk dagangannya, jadi tampang Umi yang aslinya cuma sedikit di atas rata-rata bisa dipermak sehingga selevel dengan cewek-cewek kantoran di gedung itu. Tinggal di pakaian saja Umi tidak mampu bersaing, karena dia harus memakai seragam cleaning service berupa kemeja longgar berwarna pink dengan celana panjang longgar berwarna sama, jelas kalah gaya dengan blazer dan rok span para karyawati.
Saat itu menjelang jam 8 malam. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Umi dan Karman hari itu kebagian shift malam, membersihkan ruangan kantor setelah kosong. Pintu lift terbuka di lantai 4, dan Umi keluar meninggalkan Karman yang masih berusaha mengajak Umi pulang bareng. Di koridor menuju ruang-ruang kantor, Umi sempat berkaca di satu cermin besar yang menjadi hiasan dinding. Menurutnya penampilannya masih lumayan—walaupun orang lain bakal menganggap rias wajahnya ketebalan untuk seorang petugas cleaning service. Yah, bagaimana tidak, dia meniru dandanan kawannya yang SPG kosmetik itu, yang memang harus menjadikan muka sendiri sebagai etalase produk. Umi tersenyum sendiri melihat bayangan dirinya, lalu mengeluarkan jepit rambut untuk menjepit rambut sebahu-nya yang berujung ikal di belakang kepala agar tidak berantakan. Dimasukinya satu ruangan kantor besar yang sudah kosong dan sebagian lampunya sudah mati. Itu ruang kantor Bagian Produksi. Semua karyawan di sana sudah pulang, meninggalkan meja, komputer, kursi, dan debu serta kotoran di lantai. Tidak ada orang—Umi agak kecewa, tidak ada kesempatan menggoda karyawan yang sedang lembur di sana. Sepertinya malam ini dia cuma berkesempatan berkencan dengan sapu dan alat pel. Sewaktu menyapu, Umi melihat lampu satu ruangan tersendiri di dalam kantor Bagian Produksi masih menyala. Seorang laki-laki keluar dari ruangan itu. Ternyata masih ada yang kerja sampai malam, tapi dia bukan orang yang Umi jadikan sasaran. Malah kalau bisa, Umi lebih suka menghindarinya. Orang itu, yang sekarang berjalan ke arah Umi, bernama Ramses, Manajer Bagian Produksi, berumur 40-an tahun, bertubuh besar seperti beruang, botak, alisnya tidak ada, dan terkenal galak. Karena sifat galak itulah Umi menghindari Pak Ramses. Pernah satu kali ketika sedang mengepel koridor dia dibentak Pak Ramses karena dianggap menghalangi jalan. Dan pernah juga dia dihardik Pak Ramses hanya karena dia bekerja sambil ngobrol.
“Malam Pak Ramses,” sapa Umi sambil menghindar.
“Malam,” balas Pak Ramses tanpa ekspresi, sambil berjalan melindas kumpulan kotoran yang disapu Umi.
Sepertinya Pak Ramses bukan keluar untuk pulang, dia tidak membawa tas dan lampu ruang kantornya menyala. Mungkin dia hanya keluar sebentar untuk ke toilet. Sebelum keluar ruangan, Pak Ramses berbalik dan berkata kepada Umi,
“He, kau sedang nyapu kantor kan? Nanti bersihkan ruanganku juga, ya.” Umi mengangguk.
Daripada menunggu si manajer produksi kembali, Umi berpikir lebih baik ruangan itu disapu sekarang saja, mumpung penghuninya yang sangar sedang di luar. Cepat-cepat petugas cleaning service yang centil itu membawa sapunya menuju ruangan Pak Ramses. Ruangan Manajer Produksi berisi meja tempat Pak Ramses bekerja, membelakangi jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota dari lantai empat. Meja Pak Ramses terlihat berantakan, banyak kertas dan berkas berserakan, dan tercium bau rokok yang kuat. Di atas meja ada komputer yang masih menyala. Walaupun di atas meja itu ada asbak, tetap saja abu rokok bertebaran di mana-mana, terutama di sekeliling kursi Pak Ramses. Umi hendak bekerja dari ujung ruangan, jadi dia berjalan ke balik meja kerja Pak Ramses, dan mulai dengan menyapu abu rokok di kolong meja. Di situlah masalahnya bermula. Ketika menjolok-jolokkan sapu ke kolong meja, tanpa sengaja sapu Umi menyenggol kabel komputer.
PET! Komputer di atas meja Pak Ramses tiba-tiba mati karena aliran listriknya terputus ketika kabelnya tersenggol.
Sialnya bagi Umi, pas pada saat itu juga Pak Ramses baru kembali dari toilet dan mau masuk kembali ke ruangannya. Si manajer menyaksikan layar komputernya dalam sekejap berubah jadi hitam.
“HEH! KENAPA ITU KOMPUTER KAU MATIKAN, HAH?” suara Pak Ramses menggelegar, teriakan marahnya membuat Umi membeku di tempat.
Pak Ramses langsung masuk ke ruangannya dengan membanting pintu, membuat Umi makin kaget dan ketakutan. Posisi Umi sungguh tidak menguntungkan, ruangan Pak Ramses hanya punya satu pintu dan dia sedang berada di ujung ruangan itu. Dia tak bisa kabur!
“Aduh! Maaf… maaf pak… maaf… nggak sengaja… maaf…” Umi belingsatan berusaha memohon maaf, sementara Pak Ramses sudah bergerak ke arah belakang meja.
“Cleaning service goblok!” hardik Pak Ramses. “Kau tahu aku lagi bikin laporan untuk rapat tahunan besok pagi? Kau tahu aku seharian nyusun laporan itu!? Kenapa kau matikan komputernya hah? Itu file belum di-save! Tolol! Gak pake otak!”
“Ampun Pak… ampun… sumpah saya nggak sengaja… bukan maksud saya ngerusak kerjaan Bapak… maaf…” Umi hampir menangis karena ketakutan dan panik.
“Maaf, maaf? Puki! Enak saja! Apa kau tahu aku pusing seharian bikin laporan itu! Tolol! Kau siapa!? Biar bosmu kusuruh pecat cleaning service tak becus macam kau ini!”
Sungguh sial Umi, rupanya suasana hati Pak Ramses sedang rusuh karena seharian sibuk menyelesaikan laporan penting untuk dipresentasikan, apalagi isi laporan itu kurang memuaskan sehingga pasti dalam rapat besok pagi Pak Ramses akan dibantai para direksi, sehingga mood-nya sudah jelek sekali. Dan ketika dia sedang tegang-tegangnya, komputernya dibuat mati oleh seorang cleaning service yang sembrono. Pantas saja segala kekesalan Pak Ramses langsung tumpah menimpa Umi.
“Hei! Dengar pertanyaanku tidak? Siapa namamu!?”
“U… Umi Pak… ampun Pak… jangan bikin saya dipecat Pak…” Umi tak kuat, dia jatuh berlutut sambil sesenggukan.
Tapi Pak Ramses sudah keburu kesal. Dia mendekati Umi, lalu mencengkeram rambut gadis cleaning service itu, memaksa kepala Umi menengadah supaya dia bisa melihatnya. Diperhatikannya wajah gadis cleaning service itu, yang berbedak tebal dan berpemerah pipi. Bibir Umi masih terlihat merah menyala, karena lipstik yang baru dipoleskannya tadi. Sepasang matanya yang biasa berbinar namun sekarang ketakutan itu setengah terpejam, kedua kelopaknya diwarnai pink, senada dengan seragamnya. Pikir Pak Ramses, sejak kapan ada aturan petugas cleaning service mesti pakai make-up seheboh ini?
“Ooo… Kau rupanya. Aku ingat. Kau cleaning service yang kecentilan itu kan? Yang kalau kerja kebanyakan gaya sampai suka halangi orang jalan itu? Memang tak becus kau jadi cleaning service! Apalagi dengan dandan menor macam begini. Mendingan kau jualan puki di jalan sana!”
“Ampun Paakkk…” pinta Umi memelas.
“Huh!” Pak Ramses melepas cengkeramannya dengan sentakan, mendorong kepala Umi. “Perempuan tolol, bikin repot aku saja kau ini!”
“Maaf Pak… maaf… biar saya ganti kerugian Bapak… berapapun saya akan ganti…”
“Tolol! Kau kira kau bisa ganti waktu kerjaku? Mau kau ganti pakai apa, hah? Sekarang aku harus ketik ulang laporan sialan itu. Memangnya kau bisa gantikan?”
“Ampun Pak… apa saja saya mau kerjakan Pak buat nebus kesalahan saya Pak… maafin saya… jangan bikin saya dipecat Pak…”
“Ah! Banyak bacot, kau! Kau—”
Emosi Pak Ramses memuncak dan dia tak sanggup lagi membendung amarahnya. Bukan cuma amarahnya, tapi ada hal lain juga yang tak terbendung… Direnggutnya kerah baju Umi, dan dipaksanya gadis itu berdiri. Umi tak mampu berbuat apa-apa karena ketakutan, berteriak pun tidak mampu. Pak Ramses memelototinya dengan marah. Tiba-tiba Pak Ramses menarik Umi, memaksa Umi membungkuk sehingga tubuh atasnya telungkup di meja, kemudian memelorotkan celana panjang Umi.
“Ampun Pak… Jangan Pak…” Umi takut sekali membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya, dia tak menyangka Pak Ramses akan setega itu…tapi hal yang dibayangkannya belum terjadi.
PLAKK!
“Auw!”
Bunyi tangan menampar pantat bergema memenuhi ruangan kecil itu. Bunyi yang sama beberapa saat kemudian berulang beberapa kali selagi Pak Ramses mengemplangi pantat Umi.
PLAKK! “Auww!” PLAK! “Auh!” POKK! “Ahh!” PLAKK! “Aww!”
Berikutnya, Pak Ramses menjambak rambut Umi, lalu dia duduk di kursi dan membuat Umi menelungkup di pangkuannya, dan melanjutkan hukuman pukul pantatnya kepada si petugas cleaning service yang serampangan itu. Umi menahan sakit sekaligus malu sambil mengerang-erang setelah tiap tamparan, pantatnya terasa nyeri dan panas. Dia tak percaya dia dihukum dengan cara seperti itu, seolah-olah dia anak kecil yang tertangkap berbuat nakal. Selusin kemplangan kemudian, pantat Umi sudah memerah. Celana dalamnya tidak banyak melindungi, karena memang hari itu Umi mengenakan G-string berwarna merah yang tidak melindungi kedua belah pantatnya. Malah sepertinya Pak Ramses jadi makin gemas setelah mendapati kedua bulatan itu tak terhalangi; niatnya menghukum Umi dengan mengemplangi pantat gadis itu tidak ada yang menghalangi, malah dia menemukan sasaran yang terbuka penuh.
Tubuh bagian atas Umi tertelungkup di atas pangkuan Pak Ramses, dekat dengan selangkangan sang manajer produksi itu, sehingga Umi bisa langsung merasakan adanya perubahan, sesuatu yang keras di balik resleting celana Pak Ramses mendesak sisi tubuhnya. Pak Ramses juga menyadari itu, dan dia tampak agak kesal: maksud hati menghukum dengan mengemplangi, apa daya konak juga jadinya. Bagaimana tidak konak, apabila dia melihat dan menyentuh pantat Umi yang lumayan mulus itu sambil mendengarkan rintihan kesakitan Umi.
“Huh,” geramnya, sambil mendorong Umi dari pangkuannya tapi tetap mencengkeram belakang kepala Umi.
Posisi Umi jadi bersimpuh di lantai, di antara kedua kaki Pak Ramses, dengan kepala tercengkeram menghadapi selangkangan Pak Ramses yang terlihat menonjol. Umi berusaha membuang muka ketika Pak Ramses membuka resleting celana dan mengeluarkan kontolnya yang sudah ngaceng gara-gara terangsang reaksi Umi ketika dikemplangi. Tapi karena cengkeraman Pak Ramses, dia tak bisa menjauhkan kepalanya dari selangkangan Pak Ramses.
“Hoy,” kata Pak Ramses, “Kau bisa nyepong tidak?”
Umi menggelengkan kepala dengan takut.
“Aah! Lalu apa gunamu, hah? Jadi cleaning service tak becus. Kan sudah kubilang tadi, kau sebaiknya jualan puki saja di jalan, tampangmu sudah cocok. Tapi kau ini tak berguna, nyepong saja tak bisa,” katanya sambil menjolok-jolokkan penisnya ke pipi merah Umi. Umi meringis menahan jijik terhadap senjata Pak Ramses.
“Buka mulut dan isap!” perintah Pak Ramses. “Awas jangan kau berani gigit! Kalau kau gigit, kusodok pantatmu dengan gagang sapu itu.”
Umi mematuhi kata-kata Pak Ramses dan sambil berusaha menahan keinginan untuk muntah, memasukkan penis Pak Ramses ke dalam mulutnya. Sesudah itu, dia tak tahu mau melakukan apa. Pak Ramses melihat Umi diam saja, lalu dia menggerakkan paksa kepala Umi maju-mundur menyepong ereksinya. Beberapa kali batang Pak Ramses masuk terlalu dalam sehingga Umi tersedak. Kecewa, Pak Ramses akhirnya mengeluarkan lagi batangnya dari mulut Umi.
“Dasar tak becus, penampilanmu saja yang macam pelacur tapi tak bisa apa-apa.”
Memang Umi belum pengalaman! Pacaran saja dia belum pernah. Apalagi seks oral. Pak Ramses membuka paksa baju kerja Umi. Tubuh gadis petugas kebersihan itu sebenarnya lumayan, hanya saja pakaian kerjanya memang tidak menunjukkan lekuk-lekuk tubuh. Umi tidak mampu melawan dan hanya bisa pasrah ketika bajunya dilucuti. Sekarang dia ada di hadapan Pak Ramses hanya mengenakan beha (kebetulan behanya berwarna merah dan cukup seksi) dan celana dalam G-string, kedua lengannya berusaha menutupi apa yang bisa ditutupi. Pak Ramses kembali menyuruh Umi nungging menghadap meja, seperti ketika dikemplangi untuk pertama kali tadi, dan pantat Umi kembali dihadiahi sejumlah tamparan. Umi meringis ngeri ketika setelah serangkaian kemplangan dari Pak Ramses berhenti, dan dilanjutkan dengan gerayangan jari Pak Ramses ke balik celana dalamnya. Dia membelakangi Pak Ramses sehingga tak bisa melihat apa yang dilakukan si manajer, tapi kalau dia menengok, dia akan melihat Pak Ramses mengendus jari yang baru dicolekkan ke kemaluannya. Pak Ramses mencium bau khas itu, bau perempuan yang terangsang…
Sedetik kemudian Umi merasa celana dalamnya dipelorotkan, kemudian dua tangan Pak Ramses menahan tubuhnya, satu di pinggang, satu di belakang kepala memaksa dirinya tetap tertelungkup di atas meja. Dirasakannya barang keras dan panas menempel di bibir vaginanya… apakah yang dia takutkan akan segera terjadi…
“Pak… Pak? Jangan Pak… jangan… jaAAHW!”
Sampai tadi siang, Umi masih membayangkan bahwa dandanannya dan gaya centilnya bisa memikat satu dari banyak laki-laki tampan, baik hati, dan kaya di perusahaan itu, entah karyawan muda berprestasi, karyawan senior mapan, atau bos besar yang kaya-raya. Walaupun belum pernah pacaran, Umi sebenarnya tidak segan-segan melepas keperawanannya untuk sasarannya seperti itu, kalau perlu demi menjerat mereka apabila salah satunya sampai tergoda menghamili dia. Tapi tak pernah dia sangka, keperawanannya justru dibobol orang yang dia selalu hindari, laki-laki botak galak bertubuh besar, bertampang sangar, sang manajer produksi, Pak Ramses! Pak Ramses seorang duda yang sudah lama bercerai dengan istrinya gara-gara istrinya tak tahan dengan sifat pemarahnya. Ditambah lagi Pak Ramses cenderung sadis di tempat tidur, dan punya kesukaan mengemplangi pantat pasangannya. Sudah lama dia tidak berhubungan seks, dan malam itu pun dia sedang stres karena sibuk menulis laporan dan membayangkan cercaan dari dewan direksi pada rapat besok paginya, dan pada saat stresnya sedang memuncak muncul petugas cleaning service yang ceroboh dan merusak hasil kerjanya! Akhirnya dia tak bisa menahan untuk melampiaskan kekesalannya, dan terenggutlah kegadisan Umi olehnya.
Pak Ramses tidak peduli pasangannya itu baru pertama kali berhubungan seks, dia dengan buas menggenjot Umi kencang-kencang tanpa mengindahkan jeritan-jeritan Umi. Tidak hanya anunya yang menghajar vagina Umi tanpa ampun, dia pun menindih tubuh bagian atas Umi, menggigiti tengkuk dan pundak gadis itu. Umi terperangkap dalam rasa sakit bercampur nikmat nafsu dan rasa malu, dan tak berdaya di bawah himpitan tubuh besar Pak Ramses. Kemudian Pak Ramses menarik kedua lengan Umi dan membuat pasangannya itu tegak, sehingga keduanya bersetubuh dalam posisi berdiri. Pak Ramses pelan-pelan menurunkan tubuh untuk duduk di kursinya sambil memeluk erat pinggang Umi supaya tidak bisa lolos, sehingga kemudian Umi jadi dipangku, sambil vaginanya terus disosor penis Pak Ramses. Tanpa sadar Umi mulai menikmati perkosaan terhadap dirinya dan mulai bergerak sendiri. Menyadari itu, Pak Ramses berhenti bergerak dan membiarkan Umi naik-turun sendiri untuk beberapa saat. Ketika Umi sadar dan berhenti bergerak, Pak Ramses langsung menarik kepalanya mendekat dan berbisik,
“Hayo! Kamu tadi juga mau sendiri, kan! Dasar lonte!”
Tanpa menunggu jawaban dari Umi, Pak Ramses berdiri dan membawa Umi yang masih tertoblos anunya, bergerak mendekat ke jendela. Dipepetnya Umi ke jendela, dan dicabutnya beha Umi dengan paksa. Umi menyadari keadaan, dan kembali panik, memohon untuk dilepaskan. Bagaimana tidak panik, sekarang dia ada di depan jendela, menempel ke jendela malah, yang artinya dia bisa terlihat orang, dalam keadaan tanpa busana dan anunya tertoblos senjata laki-laki…
“Pak… Pak jangan di sini… Nanti ada yang lihat… Aw!”
“Emangnya kenapa?” balas Pak Ramses sambil menyodok Umi keras-keras. “Takut kelihatan orang? Konyol kau, apa tidak tahu ini di lantai berapa? Hm, tapi di gedung sebelah mungkin ada orang tuh. Hahaha.”
“Apa!? Ah! Auh! Jangan Pak! Ah!”
Permintaan Umi yang terselip di antara rintihan-rintihan keenakannya itu tak dipedulikan, dan si gadis cleaning service cuma bisa menahan malu sambil membayangkan ada orang yang bisa melihat dirinya sedang dientot laki-laki yang tak diharapkannya, ekspresi mukanya yang malu sekaligus mesum, sepasang buah dadanya yang menempel di kaca. Justru itu semua membuat dia makin terangsang, anehnya! Mungkin baru malam itu juga Umi menyadari dia menikmati dipermalukan oleh pasangannya. Sedangkan bahwa dia punya sisi eksibisionis dan senang diperhatikan orang, itu sudah dia ketahui sejak dia mulai berdandan demi menarik perhatian. Yang jelas, efeknya jadi lumayan dahsyat buat Umi. Teriakan-teriakannya makin kencang. Jepitannya makin kuat. Dan ujung-ujungnya, dia melenguh keras sambil mencakari kaca jendela selagi orgasme meledak dalam tubuhnya, didorong oleh serangan gencar Pak Ramses dan rasa malu bercampur asyik ketika dia diperlakukan seperti demikian oleh pasangan tak sengajanya itu. Umi merosot, merunduk seperti akan jatuh ke depan, lemas setelah mengalami klimaks. Ketika itu juga dia merasa Pak Ramses menegang, dan mencabut penisnya dari dalam jepitan vagina. Umi langsung ambruk meringkuk di dasar jendela, sementara Pak Ramses berlutut, mengarahkan muncratan ejakulasinya ke arah muka Umi.
“Hegghhh…!! Rasain tuh!”
Puas sekali kelihatannya Pak Ramses ketika ciprat demi ciprat maninya mendarat di muka Umi, membuat noda-noda putih di pipi, kelopak mata, dan bibir Umi. Pak Ramses terengah-engah dan kembali duduk di kursinya, menghadapi Umi yang meringkuk lemas dan ternoda. Dilihatnya gadis itu menjilat cairan kental yang barusan mendarat di bibirnya.
“Dasar tak becus… Awas kalau kau bikin repot aku lagi besok-besok… Betulan kulaporkan ke bosmu biar dipecat kau…”
Yang tak disangka oleh Pak Ramses, ternyata dia malah mendapati pemandangan Umi yang terkulai dengan wajah menor namun belepotan sperma itu… membangkitkan lagi gairahnya. Tegak lagilah kejantanannya.
“Hei…” panggilnya. “Kau harus tanggung jawab ini. Kau cleaning service kan? Bersihin ini batangku yang kau bikin muncrat tadi.”
Umi bangkit pelan-pelan, merangkak menuju kemaluan Pak Ramses, lalu menengok seolah minta instruksi.
“Pake lidahmu.”
Umi menurut dan mulai membersihkan penis Pak Ramses dengan lidahnya.
*****
Jam 10, di parkiran motor. Karman sudah selesai sejak sejam lalu, tapi dia masih belum pulang, masih berharap Umi mau diajak pulang bareng.
“Kok dia nggak turun-turun, ya?” tanya Karman kepada dirinya sendiri.
*****
Malam semakin larut, namun lampu di satu ruangan di lantai empat gedung itu belum juga mati. Sebenarnya si manajer tak perlu semarah itu kepada si petugas pembersih, karena program komputer zaman sekarang punya fungsi penyimpan otomatis yang menjamin file tidak akan hilang semua andai komputer mati mendadak. Tapi dia memang sudah tidak semarah tadi lagi. Dia terus melengkapi laporannya, walaupun dia tidak bekerja dengan penuh konsentrasi seperti tadi lagi. Mana bisa dia berkonsentrasi, kalau dia bekerja dengan celana terbuka dan seorang gadis genit berada di pangkuannya, menunggangi kemaluannya sambil sesekali meminta dikemplang. Beberapa jam lalu gadis itu jadi sasaran kemarahan dan pelampiasan stres-nya, dan tadi dia melihat gadis itu takut dan benci kepadanya, tapi sekarang semua perasaan negatif itu sudah lewat. Gadis itu entah kenapa tidak juga berusaha pergi, dan dia sendiri enggan mengusir gadis itu. Dan kalaupun besok dia dikuliti oleh dewan direksi dalam rapat, dan gadis itu dibantai supervisor cleaning service karena tak becus kerja, mereka berdua sudah tidak peduli lagi. Memang ada-ada saja cara dua manusia bertemu. Sekali lagi dikemplangnya pantat gadis itu. Ah, sungguh nikmat mendengar rintihannya.

    

Tidak ada komentar: